DAHSYATNYA GUNA GUNA TANAH PANGURAGAN

Asalamu’alaikum wr.wb.
Salam silaturahim untuk semua
tanpa terkecuali kang risang&
ahmad r yang saya hormati,
perkenankanlah saya berbagi
sekelumit pengetahuan yg saya
tahu siapa tahu dapat
bermanfaat buat anda semua
dan bisa diambil hikmahnya.
amiin
Tanah kuburan Panguragan
yang terletak di Desa
Panguragan, Kecamatan
Arjawinangun, Kabupaten
Cirebon, memang sudah lama
tersohor di seantoro Jawa
Barat (Jabar) dapat menjadi
media ilmu gaib. Banyak
kalangan dukun aliran sesat
menggunakan tanah kuburan
Panguragan sebagai media
guna-guna untuk
menghancurkan usaha
seseorang. Benarkah…?
Guna-guna tanah kuburan
Panguragan terkenal ganas
serta sangat jarang ada
pengusaha yang sanggup
bertahan. Setiap pengusaha
yang tempat usahanya ditanami
tanah kuburan Panguragan
dalam waktu singkat dijamin
bangkrut. Bukan hanya
bangkrut, bahkan pengusaha
bersangkutan dililit hutang
dalam jumlah besar hingga
menjual bangunan tempat
usahanya.
Sejumlah pakar kebathinan di
Kota Cirebon yang sempat
dimintai komentarnya seputar
keganasan guna-guna tanah
kuburan Panguragan, rata-rata
mereka mengaku sudah
mendengar kabar tersebut sejak
lama, bahkan mulai kakek-
buyutnya. Dengan demikian,
tanah kuburan Panguragan
termasuk guna-guna cukup tua
di Tatar Jawa Barat. Karena
ganasnya guna-guna tanah
kuburan Panguragan, tidak
aneh jika jadi momok
menakutkan bagi kalangan
pengusaha, terutama pedagang.
Ki Anomjati Sanggabumi,
seorang supranaturalis muda
cukup tersohor di Kota Cirebon,
sewaktu dihubungi Penulis di
Villa Kecapi Mas, Kelurahan
Harjamukti, Kota Cirebon
membenarkan kabar seputar
penyalahgunaan tanah kuburan
Panguragan untuk media guna-
guna penghancur usaha.
“Penyalahgunaan tanah
kuburan Panguragan jelas
menyalahi syariat Islam,
sehingga dukun dan pihak yang
menyuruhnya sangat berdosa
secara habluminallah maupun
hablumminanas dan sebaiknya
hindari cara-cara sesat semacam
itu,” kata Ki Anomjati
Sanggabumi.
Ken Nagasi, seorang budayawan
sekaligus pemerhati dunia gaib
cukup terkenal di Kabupaten
Cirebon mengaku prihatin atas
praktik kotor semacam itu.
Sewaktu dihubungi di Sanggar
Budaya “Nyi Mas Gandasari”
yang berlokasi di sekitar Stadion
Bima, pria tampan warga Desa/
Kecamatan Sindanglaut,
Kabupaten Cirebon ini kerap
mengurut dada tiap kali dia
mendengar keluhan para
mantan pengusaha kenalannya
yang bangkrut akibat praktik
dukun sesat menggunakan
media tanah kuburan
Panguragan.
“Astaghfirullah, kenapa mesti
menyengsarakan orang lain
demi kepuasan diri sendiri?
Kenapa tidak bersaing secara
sehat melalui pemantapan
manajemen?” Seal Ken Nagasi.
Ibarat pepatah, tak ada
penyakit yang tak ada obatnya.
Jika diibaratkan penyakit, guna-
guna tanah kuburan
Panguragan ternyata punya
tandingan. Jika belum gulung
tikar, kondisi tempat usaha atau
perusahaan yang ditanami
tanah kuburan Panguragan
dapat dinetralisir dengan
ditaburi pada keempat sudut
bangunan itu menggunakan
pasir kali Bayalangu.
H. Sator, seorang pakar
supranaturalis terkenal di Desa
Bayalangu, Kecamatan Gegesik,
Kabupaten Cirebon, mengaku
sudah sering menolong
pengusaha yang terkena guna-
guna tanah kuburan
Panguragan. Melalui media
pasir kali Bayalangu yang sudah
dirituali, secara alamiah dapat
menetralisir pengaruh negatif
tanah kuburan Panguragan.
Kecuali ada penanaman ulang
dari pihak yang melakukannya,
maka mesti dilakukan
penaburan ulang pasir kali
Bayalangu.
“Tanah kuburan itu pun tidak
bisa asal ambil oleh sembarang
orang, melainkan hanya bisa
diaktifkan aura negatifnya oleh
orang yang ahli di bidang itu.
Begitu pula pasir kali Bayalangu,
dan secara kebetulan saya
mewarisi ritual pasir kali
Bayalangu dari ayah saya,”
terang H. Sator.
Konon, dampak yang
ditimbulkan bagi korban guna-
guna tanah kuburan
Panguragan bukan hanya
mengalami kebangkrutan
usaha, namun sepanjang malam
mendapatkan teror gaib sangat
mengerikan. Salah satunya
seperti dialami Udi bin Ujang,
warga Kelurahan
Karangmalang, Kecamatan/
Kabupaten Indramayu, Jabar.
Dia bukan saja kehilangan kios
kue kering miliknya di “Pasar
Baru” Tanjungpura karena
dijual dan menanggung hutang
sekitar 20 jutaan namun, namun
dia kini mesti mengais rezeki di
Arab Saudi sebagai driver.
Berikut ini adalah kisah nyata
yang dituturkan oleh Udin bin
Ujang kepada Penulis.…
Sejak Jumat Kliwon hingga
Sabtu Legi (18 – 19 Januari
2008), Ujang duduk termenung
di teras gedung pertemuan
kompleks “Kinasih” di Jalan
Tapos, Kecamatan Cimanggis,
Kabupaten Depok. Saat itu dia
bersama tiga rekannya masing-
masing Toto, Sutejo dan Hendi
mengantar Drs. Khairuddin
yang tengah mengikuti Rapat
Kerja Nasional (Rakernas)
dengan Presdir PT. Guswara
Intertaint, Agus Winarko,MSc.
Pria yang usianya beranjak senja
dan berbadan subur itu
memisahkan diri dari hiruk-
pikuk ratusan orang pengantar
para peserta Rakernas. Wajah
yang sudah dipenuhi kerutan itu
tampak kuyu seakan
menyimpan duka nestapa
teramat berat.
Ujang duduk di atas tikar di
bawah rindangnya pohon
beringin hingga memasuki
dinihari. Pemandangan
semacam itu, tentu saja sangat
kontras dan sangat tak lazim.
Kepada Misteri, dia seperti
berupaya memuntahkan
kegalauan hatinya seputar
perjalanan usaha putra
sulungnya yang kini bangkrut
dan gulung tikar.
Padahal, sejak “Pasar Lama”
yang terletak di Jalan Ahmad
Yani, Kelurahan Lemah Abang,
Kecamatan/Kabupaten
Indramayu itu terbakar pada
Selasa (11 Juli 1995) pukul 09.00
WIB dan para pedagang
direlokasi ke pasar baru yang
terletak di Jalan Tanjungpura,
Kelurahan Karanganyar,
Kecamatan/Kabupaten
Indramayu, secara bertahap
kios kue kering milik Udi,
anaknya, mengalami kemajuan.
Setidaknya hingga 2005 silam,
kios kue itu sangat populer dan
setiap harinya selalu dijejali
pembeli.
Menyaksikan kemajuan usaha
Udi, sejumlah kios yang semula
menjual dagangan lain diganti
menjadi kios kue kering.
Akibatnya, persaingan pun
semakin ketat sehingga calon
pembeli kue kering tersebar ke
berbagai kios yang ada di Pasar
Baru. Sejak saat itu, dari waktu
ke waktu, jumlah pembeli ke
kios Udi terus berkurang.
Tetapi, bagi Udi hal itu dianggap
sesuatu yang lumrah sesuai
dengan hukum pasar.
Sekitar awal 2006, naluri Udi
menangkap ada hal yang tidak
wajar, terutama setelah
mendapatkan kiosnya benar-
benar sepi. Bayangkan, omzet
dalam sehari hanya cukup buat
menutupi kebutuhan dapur
keluarga.
Tragisnya, puluhan orang
pelanggan kabur sambil
membawa utang dalam jumlah
besar. Hal ini membuat Udi
kalang kabut mencari dana
pinjaman buat menambal
modal yang berkurang akibat
ulah para pelanggan yang nakal
itu.
“Bukan itu saja, pada bulan ke
tiga 2006, Udi anak saya dan
keluarganya merasakan suatu
gangguan gaib yang
menciptakan rasa takut,” kisah
Ujang dengan pandangan
menerawang jauh.
Masih dalam bulan yang sama,
sejumlah pedagang skoteng,
bakso dan lainnya yang biasa
mangkal malam hari di sekitar
Pasar Baru Tanjungpura sempat
menggunjingkan peristiwa gaib
di sekitar kios kue milik Udi.
Mereka kerap menyaksikan
sosok pocong alias mayat hidup
berkeliaran di teras kios kue
milik Udi.
Gunjingan itupun akhirnya
masuk ke telinga Udi. Untuk
membuktikannya, pada dinihari
sekitar pukul satuan, seorang
diri Udi menyelinap ke lorong
(los) Pasar Baru Tanjungpura
yang berjarak sekitar satu
kilometer dari rumahnya.
Karena sudah dinihari, suasana
pasar sangat sepi. Kalau pun
ada aktivitas hanya di sisi jalan
alternatif penghubung Polsekta
dengan Markas Polres
Indramayu, dimana terdapat
warung nasi yang buka 24 jam.
Malam itu, berselang dua kios
dalam posisi berseberangan, Udi
mengambil tempat pengintaian
yang dirasa aman. Untuk
bersembunyi, dia duduk di balik
tumpukan bekas kotak gula
yang sudah kosong.
Berkat losion anti nyamuk, dia
terbebas dari serangan
serangan haus darah itu. Lewat
bantuan cahaya dari sudut kios,
diliriknya jarum jam tangan, saat
itu sudah menunjuk pukul 1.15
menit. Sepasang matanya
menatap lurus ke arah kiosnya
yang sengaja tidak diberi
penerangan sehingga suasana
temaram sisa lampu dari kios
lain di sebelahnya.
Dia meragukan gunjingan para
pedagang ketika merasakan
pantatnya mulai penat akibat
terlalu lama duduk di atas
lembaran kardus bekas. Ketika
terlintas niat untuk pulang,
detak jantung Udi mendadak
terpacu. Pandangannya lebih
dipertajam. Ternyata benar,
samar-samar dia menyaksikan
sosok mayat terbungkus kafan
muncul dari balik tumpukan
kardus bekas snack yang
disimpan di teras kios.
Pocong itu bergerak lembut dan
makin lama makin jelas setelah
terkena sisa cahaya lampu dari
kios sebelah. Rasa takut pun
mulai merasuk ketika pocong
itu terlihat gelisah. Kepala
pocong menoleh ke berbagai
arah diikuti gerakan tubuhnya.
Udi yakin, keberadaannya
sudah diketahui mahluk alam
gaib itu, sehingga sepasang
sandal jepit pelan-pelan dia
lepas.
Nalurinya memang tepat.
Pocong itu melompat-lompat
tertuju ke tumpukan bekas
kotak gula di mana Udi
bersembunyi. Ketika jaraknya
tinggal beberapa meter lagi,
sekuat tenaga Udi melompat
dari balik tumpukan bekas
kotak gula lantas lari menjauhi
arah datangnya pocong.
Udi lari secepat yang dia
mampu menuju ke arah warung
nasi. Tanpa perduli terhadap
tiga tukang becak yang duduk
santai di bangku kayu, Udi
menerobos memasuki warung
dan disambut pekikan kaget
pelayan yang tengah terkantuk-
kantuk.
Keesokan paginya, peristiwa itu
dia ceritakan kepada istrinya
lalu kepada ayahnya. Ujang
yang awam soal mahluk gaib,
hanya memberi saran supaya
anaknya lebih mendekatkan diri
kepada Allah dan
memperbanyak wirid.
Dari kios kue, teror itupun
berpindah ke rumah Udi. Nyaris
tiap malam, isteri dan dua
anaknya diteror suara-suara
aneh dari serambi rumah
bahkan terkadang disertai bau
busuk menerobos melalui celah
daun jendela.
Atas desakan isteri dan anak-
anaknya, Udi minta izin kepada
ayahnya untuk numpang tidur
sambil mencari jalan keluar.
Ujang tidak bisa menolak
permintaan putranya, sehingga
merelakan kamar depan yang
bersisian dengan ruang tamu
ditempati Udi bersama
keluarganya. Sedangkan siang
harinya, Udi membawa
keluarganya kembali ke
rumahnya yang hanya beda
gang dengan rumah
orangtuanya itu.
Malam Selasa Kliwon bulan ke
enam 2006, Ujang gelisah di
tempat tidurnya. Udara awal
musim kemarau membuat
gerah tak tertahankan. Untuk
mendapatkan udara segar,
Ujang membuka daun pintu
depan lalu duduk santai di kursi
ruang tamu. Saat jarum jam
menunjuk pada angka 2
dinihari, muncul Udi dari ruang
kholwat (tempat solat) yang
bersatu dengan kamar dapur.
Udi saat itu masih mengenakan
sarung, peci dan baju koko
serta tangan kanan masih
memutar tasbih. Keringat
membasahi kening. Rupanya
Udi pun tak tahan kegerahan di
ruang kholwat, sehingga
memilih melanjutkan wiridnya di
ruang tamu.
Angin malam lumayan sejuk
menerobos memasuki celah
daun pintu yang terbuka
seperempat bagian. Di atas kursi
busa yang mulai usang, Ujang
menyandarkan punggung dan
meletakkan tengkuknya.
Aroma kantuk mulai merasuk.
Sambil terkantuk-kantuk, Ujang
mengamati bagian ujung pintu
pagar besi halaman rumah
lewat celah daun pintu.
Sedangkan di sampingnya, Udi
masih melanjutkan bacaan
wiridnya.
Dirasa tubuhnya mulai segar
serta aroma kantuk mulai tak
tertahankan, Ujang bermaksud
menutup daun pintu dan akan
membanting punggung di atas
kasur melanjutkan tidur. Belum
sempat mengangkat pantat,
lewat celah daun pintu dia
melihat ujung pintu pagar besi
bergerak diiringi deritan lembut.
Entah datang dari mana, ruang
tamu dalam sekejap sudah
dipenuhi bau busuk sangat
ganjil.
Bau busuk semakin menyengat.
Belum sempat menduga-duga
siapa orang yang akan bertamu,
daun pintu ditabrak dari luar
hingga membentur tembok
menimbulkan suara gaduh.
Suara benturan daun pintu
dengan tembok kontan
mengejutkan Ujang dan Udi.
Yang lebih mengejutkan, di
ambang pintu sudah berdiri
sesosok mayat hidup alias
pocong.
Lewat cahaya lampu neon
ruang tamu yang terang
benderang, Ujang menyaksikan
kafan yang masih lengkap
dengan ikatannya itu sangat
kusam penuh lumpur hitam.
Kulit wajah mahluk itu tidak
utuh lagi. Sangat rusak, penuh
borok-borok serta belatung
bergerak lembut pada sepasang
rongga matanya. Dari lubang
mulut dan hidungnya meluncur
lenguhan seperti sedang
menahan marah.
Mahluk itu bukan menatap
Ujang melainkan menghadap
lurus ke arah Udi. Diiringi
lenguhan keras, mahluk itu
menerjang ke arah Udi. Ujang
tak mampu berbuat banyak
selain berjuang
mempertahankan kesadarannya
supaya tidak pingsan.
Diserang mahluk seseram itu,
secara refleks, sekuat tenaga
Udi menjejakkan sepasang
kakinya ke atas lantai.
Akibatnya, kursi yang dia duduki
terbalik dan tubuh Udi
terjengkang ke belakang lantas
jatuh terduduk. Udi hanya
mampu membuka mulut, tapi
lafadz ayat Qursy sama sekali
tidak pernah mau keluar. Yang
meluncur dari
kerongkongannya hanya suara
menyerupai orang gagu.
Air hangat sangat deras
mengucur dari balik kain
sarung. Akibatnya dia
berkubang pada genangan air
kencingnya sendiri. Sama halnya
ayahnya, Udi pun hanya
berjuang agar jangan sampai
pingsan. Dia yakin, mahluk itu
bukan semata menakut-nakuti
melainkan mengancam jiwanya.
Saat jaraknya tersisa beberapa
senti lagi, Udi ingat kalau tasbih
di genggamannya itu pemberian
dari seorang ustadz. Dia
berharap benda itu bukan
semata alat penghitung wirid.
Tanpa berharap banyak, tangan
kanan yang semula
menyanggah tubuhnya yang
jatuh terduduk dia angkat
tinggi-tinggi menyongsong
terjangan pocong sambil
merapatkan kelopak mata.
Dia sudah benar-benar pasrah.
Benaknya berkata, mungkin
hanya dalam hitungan detik,
lehernya akan digigit mahluk itu
sehingga urat nadinya putus
lalu mati. Tapi hingga belasan
detik berlalu, tak ada sesuatu
yang menyentuh lehernya.
Ditunggu beberapa menit
berikutnya tak ada serangan
mematikan dari mahluk
berwujud pocong itu. Udi
menjerit ketika lengannya
dibetot sangat keras. Ketika
membuka mata, ayahnya
tengah berjuang mengangkat
tubuhnya.
“Pocong tadi terpental saat
menyentuh tasbih di
genggamanmu! Ayo. bangun!”
Kata Ujang, setengah
membentak.
Udi langsung bangkit dan
melompat menuju ambang
pintu. Tergopoh-gopoh daun
pintu dibanting hingga tertutup
rapat sekaligus menguncinya.
Anak beranak itupun hanya
mampu berpandangan. Udi
baru sadar kalau sarungnya
basah kuyup setelah diberitahu
ayahnya, maka buru-buru dia
ke kamar mandi.
Keesokan harinya, dengan
diantar ayahnya, Udi
menyambangi seorang ulama di
Lohbener. Ujang menyerahkan
sisa tanah bekas pocong yang
tercecer di atas lantai ruang
tamu. H. Abbas, sang ulama,
menggenggam sisa tanah hitam
itu sambil memejamkan mata
dan bibir komat-kamit.
Mendadak keningnya berkerut
tajam lalu membuka kelopak
matanya.
“Astaghfirullah, mahluk itu
khodam guna-guna tanah
kuburan Panguragan. Untung
kalian tidak sampai pingsan…
jika sampai pingsan,
naudzubillah, hanya Allah yang
tahu terhadap batas umur
mahlukNya,” terang H. Abbas.
Sesaat berikutnya, H. Abbas
minta izin masuk ke kamar
kholwat. Belasan menit
kemudian muncul lagi dengan
wajah penuh keringat. Dengan
suara serak, H. Abbas
menyarankan agar kios kue itu
secepatnya dijual. Menurut
mata bathinnya, kios itu sudah
ditanami tanah kuburan
Panguragan sejak enam bulan
lalu. Tapi, ulama khos itu tidak
bersedia menyebutkan identitas
orang yang telah mengguna-
gunai kios Udi.
Atas saran H. Abbas, sebulan
kemudian kios itu dijual murah
kepada pemilik kios di
sebelahnya. Uang hasil menjual
kios itu digunakan oleh Udi
untuk mengurangi utangnya.
Dalam keadaan tak punya
modal sesenpun, Udi terpaksa
ikut kerja jadi kuli bangunan
hanya sekadar untuk menutupi
kebutuhan dapur, dan sejak
awal 2007, Udi terbang ke Arab
Saudi menjadi Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) bagian driver.
Itu8lah secuil informasi yang
pernah saya tahu jika ada salah
kata saya dalam penulisan
artikel ini saya mohon maaf
beribu maaf.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Yudha kelana

81 tanggapan untuk “DAHSYATNYA GUNA GUNA TANAH PANGURAGAN”

  1. Wah medeni…teringat saat kk ipar rmhnya di tanami tanah kuburan,tali kafan sama cuilan kayu nisan…ambune jiaan!

    Suka

  2. ada kalanya ,kita harus menerima semua itu. mungkin semua itu salah satu ujian yang harus kita lalui hidup didunia ini.

    Suka

  3. GIMANA KALO KUBURAN KALO DI PELUR AJA SUPAYA ORANG ENGGA BISA NGAMBIL TANAH NYA
    PELUR WE KANG YUDHA KUBURANNANA BERES PAN
    SALAM RAHAYU WELUJENG ENJING KANGGO KANG YUDHA KELANA
    SALAM TAKDIM TUK PARA SEDULUR

    Suka

  4. ya betul tetangga sy sdh mmbktikn khbtn tnh panguragan untk mnghncurkn usha org ln bhkn rmhtgax brntakn,sdh d bktikn 3x amph bngt

    Suka

↓ ungkapan SILATURAHMI .~terima kasih atas kunjungannya.